BANTENRAYA.COM – Lonjakan utang pinjaman online atau pinjol di Provinsi Banten memunculkan kekhawatiran baru, yakni rapuhnya daya tahan ekonomi rumah tangga.
Meski pemerintah daerah gencar mendorong pemberdayaan masyarakat, data terbaru menunjukkan banyak warga Provinsi Banten justru mencari jalan pintas melalui pinjaman daring.
Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan atau OJK Banten, tercatat total pinjol masyarakat Banten per April 2025 mencapai Rp5,98 triliun.
Jumlah ini meningkat dari periode yang sama pada tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp5,12 triliun.
Baca Juga: Profil Keisha Rochelline Simorangkir, Juara 2 Clash of Champions Season 2
Selain itu, jumlah rekening aktif pun kian melonjak dari 1,27 juta menjadi 1,6 juta pada periode yang sama.
Menyoroti hak tersebut, Anggota Komisi V DPRD Banten Yeremia Mendrofa menilai, tren ini sebagai sinyal kuat bahwa perekonomian warga masih menghadapi tekanan berat.
“Kalau masyarakat makin banyak yang berutang ke pinjol, itu artinya ada masalah yang belum terselesaikan di bawah. Bukan sekadar kurang literasi, tapi soal kebutuhan hidup yang mendesak,” ujarnya, Minggu, 24 Agustus 2025.
Yeremia mengungkapkan, banyak warga menggunakan pinjol bukan untuk modal usaha, melainkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Makanya mereka pinjam ke pinjol. Khususnya untuk pemenuhan kebutuhan pokok. Kalau hanya untuk makan, tentu sulit membayarnya kembali,” katanya.
Yeremia menuturkan, hal tersebut semakin diperparah dengan bunga pinjol yang tinggi, sehingga beban cicilan kerap membengkak.
Diketahui, berdasarkan data dari OJK, tingkat gagal bayar (TWP90) di Banten tercatat naik menjadi 2,27 persen pada April 2025, dari 2,11 persen pada Desember 2024.
“Bunga pinjol itu sangat mencekik. Di awal kelihatannya mudah, tapi lama-lama justru membuat orang kesulitan. Kalau dibiarkan, masyarakat bisa semakin terjerat,” jelasnya.
Baca Juga: 909 Warga Kota Cilegon Daftar Beasiswa Cilegon Juare
Legislator asal PDIP itu menambahkan, lonjakan pinjol tidak bisa dilepaskan dari masalah struktural yang masih dihadapi Banten seperti diantaranya kemiskinan ekstrem yang masih 2,3 persen, kawasan kumuh yang banyak, serta daerah tanpa listrik sebagai akar persoalan.
“Selama masalah-masalah dasar ini belum selesai, masyarakat akan terus mencari solusi instan. Pinjol jadi pilihan karena syaratnya mudah, tapi dampaknya panjang,” ujarnya.
Untuk mengatasi hal ini, Yeremia mendorong pemerintah daerah menghadirkan alternatif pembiayaan yang lebih sehat.
Ia menekankan pentingnya membuka akses permodalan resmi dengan bunga rendah, terutama bagi pelaku usaha mikro dan kecil.
“Kalau masyarakat punya akses kredit murah yang resmi, mereka tidak akan lari ke pinjol. Pemerintah harus hadir memberi solusi, bukan hanya menyalahkan masyarakat,” tegasnya.
Selain itu, ia meminta edukasi literasi digital diperluas hingga ke desa-desa. Menurutnya, sosialisasi yang selama ini dilakukan masih bersifat formal dan belum menyentuh akar rumput.
“Harus masuk ke kelompok tani, nelayan, sampai ibu rumah tangga. Mereka inilah yang paling rentan. Kalau tidak, fenomena pinjol akan terus berulang,” jelasnya.
Selain itu, Yeremia juga menyoroti dampak sosial dari pinjol. Banyak warga yang gagal membayar mengaku mendapat tekanan psikologis akibat cara penagihan yang tidak manusiawi.
Baca Juga: BNPB Siapkan Rp13 Miliar untuk Bangun Hunian Tetap Korban Bencana Alam di Kabupaten Lebak
“Ada yang diteror, ada yang dipermalukan, bahkan keluarga ikut ditekan. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi sudah masuk ke ranah martabat manusia,” katanya.
Menurutnya, lonjakan pinjol harus dibaca sebagai peringatan dini bagi pemerintah daerah. Tanpa langkah konkret, ketergantungan warga pada pinjol bisa menjadi bom waktu yang memperburuk masalah kemiskinan.
“Kalau pemerintah serius mengurangi beban warga, fenomena pinjol ini bisa ditekan. Tapi kalau tidak, justru akan memperlebar jurang masalah. Orang tidak akan mencari pinjol kalau kehidupannya sudah tercukupi,” pungkas Yeremia.***